Minggu, 23 Mei 2010

SRI (System of Rice Intensification) 3

SRI (System of Rice Intensification) 2

SRI (System of Rice Intensification) 1

Terobosan Baru Teknik Bertanam Padi

Bertanam Padi Cara Aep Saepudin - Tasikmalaya

Cara Aep Saepudin bertanam padi memang tak lazim. Petani di Sukapada, Kecamatan Pagerageung, Tasikmalaya, itu menggunakan bibit umur 7 hari. Padahal, biasanya petani lain menanam bibit umur 25 hari. Jarak tanamnya pun longgar, 40 cm x 30 cm; lazimnya, 20 cm x 20 cm. Sudah begitu ia tak menggenangi sawahnya.
Keruan saja petani-petani lain di daerahnya menganggap aneh. Meski berkali-kali menyampaikan bahwa cara baru itu mendongkrak produksi, tak satu pun rekan-rekannya percaya. Mereka baru percaya setelah 100 hari kemudian Aep menuai padi. Hasilnya? Ia membawa pulang 7 ton dari lahan sehektar ke rumahnya. Produksi itu menjulang ketimbang hasil pekebun lain yang rata-rata cuma 4 ton per hektar.

Sejak itu-penghujung 2003-petani-petani di Tasikmalaya mencontoh budidaya ala Aep Saepudin yang sohor dengan sebutan SRI (System of Rice Intensification). Hal paling mendasar dalam budidaya sistem intensifikasi padi adalah menerapkan irigasi intermitten. Artinya, siklus basah-kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah, dan ketersediaan air. Selama kurun waktu penanaman, lahan tidak tergenang, tapi macak-macak-basah tapi tidak tergenang. Cara itu bisa menghemat penggunaan air sampai 46%.

Selain itu, sedikitnya air juga mencegah kerusakan akar tanaman. Menurut Dr Tualar Simarmata, dosen sekaligus peneliti di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, penggenangan menyebabkan kerusakan jaringan perakaran akibat terbatasnya pasokan oksigen. Semakin tinggi air, semakin kecil oksigen terlarut. Dampaknya akar tanaman tak mampu ‘mengikat’ oksigen sehingga jaringan perakaran rusak.

Jarak tanam lebar

Selain menghemat air, budidaya intensif itu juga menghemat penggunaan bibit. Sebab, ‘Satu lubang tanam hanya ditanami satu bibit,’ kata Enceng, petani di Ciamis, Jawa Barat, yang juga menerapkan sistem serupa di sawahnya. Untuk luasan 1 ha, pekebun hanya memerlukan 10 kg benih. Bandingkan dengan sistem konvensional yang menghabiskan 30 kg benih. Itu lantaran petani menanam 9 bibit di satu lubang tanam.

Jika harga benih Rp4.000/kg, petani yang menerapkan sistem intensifikasi menghemat Rp80.000 per hektar. Menurut Dr Sarlan Abdulrachman, ahli budidaya padi di Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa), Sukamandi, Subang, dengan menanam satu bibit per lubang berarti menghindari perebutan hara sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik. Sebaliknya, jika penanaman terdiri atas 9 bibit/lubang, kompetisi hara tak terelakkan.

Dalam intensifikasi, digunakan bibit muda. Umurnya 7 hari pascasemai dan terdiri atas 2 daun. Penggunaan bibit muda justru berdampak positif. Menurut Sarlan bibit muda lebih mudah beradaptasi dan tidak gampang stres. Karena perakaran belum panjang, maka penanaman pun tidak perlu terlalu dalam, cukup 1-2 cm dari permukaan tanah. Dalam budidaya konvensional, petani menggunakan bibit berumur 25 hari. Akar memanjang sehingga ketika dipindahtanamkan acap putus. Akibatnya, Oryza sativa itu pun stres sehingga mengganggu pertumbuhan.

Untuk menghasilkan bibit muda yang berkualitas, petani mempersiapkan sejak penyemaian. Populasi di persemaian 50 g/m2 agar bibit cepat besar, karena tidak terjadi persaingan unsur hara. Dengan cara itu bibit sudah siap tanam pada umur 5-14 hari.

Pekebun intensif menanam bibit muda dengan jarak tanam 40 cm x 30 cm. Total populasi di lahan 1 ha mencapai 83-ribu tanaman. Sementara pada sistem konvensional, berjarak tanam 20 cm x 20 cm atau total terdiri atas 250-ribu tanaman. Dengan jarak tanam longgar, 40 cm x 30 cm, sinar matahari menembus sela-sela tanaman. Tanaman memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis sehingga pasokan makanan tercukupi. Pantas dalam umur 30 hari, dari 1 bibit sudah menghasilkan 65 anakan. Itu jauh lebih banyak ketimbang sistem konvensional yang hanya menghasilkan 29 anakan.

Dongkrak produktivitas

Selain efisiensi air dan bibit, intensifikasi padi juga meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas karena pertumbuhan famili Gramineae itu lebih baik dibandingkan dengan yang ditanam secara konvensional.

Pertumbuhan optimal menyebabkan produksi padi meningkat. Aep, misalnya, bisa memperoleh 300 butir padi dari 1 malai. ‘Bahkan ada juga yang sampai 700 butir,’ katanya. Hal itu wajar saja. Menurut Sarlan kunci sukses sistem intensifikasi adalah perkembangan sistem perakaran dan lahan yang tidak tergenang. Hasilnya, perakaran kekar dan jumlah lebih banyak, sehingga bisa menyerap nutrisi dengan baik.

Hal senada diungkapkan Joeli Barrison, peneliti dari Department of Crop and Soil Sciences, Cornell University, New York. Hasil penelitian Joeli yang dilakukan pada 2002 menunjukkan perakaran padi yang ditanam dengan sistem intensifikasi jauh lebih banyak daripada yang ditanam dengan metode konvensional. Sistem perakaran yang baik meningkatkan penyerapan nitrogen dan kalium sampai 91% serta unsur fosfor sampai 66%.

Meningkatnya produktivitas berarti juga mendongkrak pendapatan petani. Enceng contohnya, pendapatan sebelum menggunakan intensifikasi Rp10-juta dari hasil penjualan gabah kering giling 4 ton. Harga 1 kg gabah hanya Rp 2.300/kg. Kini, pendapatannya beberapa kali lipat karena terjadi peningkatan produksi.

Apalagi pria kelahiran Ciamis itu menjualnya dalam bentuk beras dengan label organik. Beras dibagi ke dalam dua kelas: kelas pertama dengan bulir utuh Rp8.000/kg dan beras kelas II Rp4.500/kg. Dengan total penjualan 5 ton beras kelas I dan 1,4 ton kelas II diperoleh pendapatan Rp51.240.000. Setelah dikurangi biaya produksi Rp5-juta dan biaya giling Rp2,1-juta, ia mengantongi pendapatan bersih sebesar Rp45.140.000.

Madagaskar

SRI sebetulnya bukan barang baru. Sistem itu pertama kali ditemukan oleh Henri de Laulanie, pastur jesuit asal Perancis yang tinggal di Madagaskar. Pada 1961 Henry berimigrasi ke negara di seberang timur Benua Afrika itu. Di negeri rempah itu beras sebagai makanan pokok. Sayang, produktivitas padi di sana rendah. Itu berdampak pada kehidupan petaninya yang kurang sejahtera.

Makanya pada 1981, pria kelahiran 22 Februari 1920 itu mendirikan sekolah pertanian di Antsirabe. Sekolah itu ditujukan untuk kaum muda yang ingin memajukan pertanian di negara seluas 226,597 hektar itu. Di sekolah itu pula ia menemukan metode SRI pada 1983. Melalui metode itu, cara penanaman padi berubah total. Hasilnya mengejutkan, mencapai 20 ton/hektar.

Metode temuan Henry diperkenalkan ke dunia luar pada pertengahan 1990-an. Sejak itulah SRI dicoba di berbagai negara seperti China, India, Kamboja, Thailand, dan Bangladesh. Indonesia menerapkannya mulai 1999, dengan hasil sangat memuaskan. Pantas jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat meresmikan penanaman padi SRI, milik Medco Foundation menyatakan, ‘Mari kembangkan padi SRI seluas-luasnya,’ ujar Presiden.


(sumber : Trubus_online tanggal 3 Maret 2008

Selasa, 18 Mei 2010

Apakah Pertanian Organik Layak secara Ekonomi?

Bicara keberlanjutan dalam pertanian organik, tidak dapat dipisahkan dengan dimensi ekonomi, selain dimensi lingkungan dan dimensi sosial. Pertanian organik tidak sebatas hanya meniadakan penggunaan asupan eksternal sintetis, tetapi juga pemanfaatan sumber-sumber alam secara berkelanjutan, produksi makanan sehat dan menghemat energi. Aspek ekonomi dapat berkelanjutan bila produksi pertaniannya mampu mencukupi kebutuhan dan memberikan pendapatan yang cukup untuk melaksanaan keberlanjutan penghidupan. Tetapi, kerapkali motivasi ekonomi menjadi kemudi yang menyetir arah pengembangan pertanian organik. Di satu sisi dapat mendorong pengembangan pertanian organik di Indonesia, tetapi di sisi lainnya dapat menjadi bumerang yang dapat meruntuhkan pondasi gerakan pertanian organik yang sedang dibangun.


Ekonomi Lahan

Budidaya pertanian organik mengintikan pada keselarasan alam, melalui keragaman hayati dan pengoptimalan penggunaan asupan alami yang berada di sekitar melalui proses daur ulang bahan-bahan alami. Dalam proses budidayanya, dari persiapan lahan hingga pemanenan tidak dapat dilepaskan dengan interaksi kedua hal tersebut.
Pertanian organik yang berasal dari lahan konvensional (lahan yang intensif penggunaan asupan kimia sintetis) perlu masa peralihan. Peralihan dari pertanian yang dikelola secara konvensional ke pertanian organik seharusnya tidak hanya memperbaiki ekosistem lahan, namun juga menjamin kelangsungan hidup (secara ekonomi) lahan tersebut. Karena itu, penyesuaian, kesempatan dan resiko yang dituntut untuk peralihan itu saling berkaitan dan harus diperhatikan.
Peralihan ke pertanian organis memerlukan pola pikir yang baru pula. Seluruh anggota keluarga yang terlibat dalam pengelolaan lahan harus siap dalam melakukan perubahan-perubahan dalam banyak aspek. Yang pertama dan terpenting adalah cara pandang petani itu sendiri terhadap pertanian organik.

Potensi ekonomi lahan pertanian dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berperan dalam perubahan biaya dan pendapatan ekonomi lahan. Setiap lahan memiliki potensi ekonomi bervariasi (kondisi produksi dan pemasaran), karena lahan pertanian memiliki karakteristik berbeda yang disesuaikan dengan kondisi lahan tersebut. Maka faktor-faktornya bervariasi dari satu lahan ke lahan yang lain dan dari satu negara ke negara yang lain. Secara umum, semakin banyak perubahan dan adopsi yang diperlukan dalam lahan pertanian, semakin tinggi pula resiko ekonomi yang ditanggung untuk perubahan-perubahan tersebut.

Kemampuan ekonomi suatu lahan dapat diukur dari keuntungan yang didapat oleh petani dalam bentuk pendapatannya. Keuntungan ini bergantung pada kondisi-kondisi produksi dan pemasaran. Keuntungan merupakan selisih antara biaya (costs) dan hasil (returns). Modal tetap atau fixed costs (yang tidak secara langsung bergantung pada ukuran produksi) merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membeli atau menyewa tanah, bangunan atau mesin-mesin; atau bisa juga biaya yang disediakan untuk menggaji pekerja-pekerja tetap. Upah bagi buruh tani (termasuk bila menggunakan tenaga kerja keluarga) yang bekerja untuk pekerjaan-pekerjaan khusus (misalnya pada waktu panen) tergantung pada ukuran produksi. Ini disebut sebagai modal tidak tetap (variable costs), termasuk biaya yang dikeluarkan untuk membeli asupan (misalnya benih, manur, pestisida). Sebuah lahan bisa dikatakan layak secara ekonomi jika hasil yang didapat melampaui total modal tidak tetap dan penurunan nilai modal tetap. Hasil utamanya berupa uang yang diterima dari penjualan produk yang dihasilkan. Untuk memperhitungkan keuntungan lahan keluarga dan kegiatan-kegiatan lahan, penghematan pengeluaran untuk makan dan pendapatan yang diperoleh dari luar lahan (misalnya sebagai buruh upahan atau dari kegiatan usaha yang lain) harus turut diperhitungkan.
Pada masa peralihan ini perlu dilihat, apakah biaya produksi dan hasil panenan akan meningkat atau menurun?. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya-biaya selama dan setelah peralihan tidak selalu sama dan bergantung pada jenis pertaniannya, apakah bertani tradisional atau intensif?, dan jenis produksinya -(tanaman apa yang utama?. Apakah juga memelihara hewan ternak?)- serta kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi.
Karena itu, penyamarataan biaya produksi tidak mungkin dilakukan. Dalam kasus-kasus yang sering dijumpai di lahan, biaya asupan awal mengalami kenaikan karena petani harus membeli manur organik untuk membangun materi organik tanah. Selain itu, diperhitungkan pula biaya untuk menggaji pekerja -mengangkut manur, membersihkan semak, dll- yang menjadi rangkaian pekerjaan yang disesuaikan dengan kondisi lahan dan sistem pertanian organiknya. Ini dapat menaikkan biaya produksi secara keseluruhan. Sementara hasil produksinya dapat menurun sekitar 10-50 persen dari hasil pertanian konvensional, tergantung dari tanaman dan sistem pertaniannya.
Penurunan hasil panen bisa terjadi dalam kondisi-kondisi tertentu, terutama jika kesuburan tanah amat rendah akibat kekurangan materi organik tanah. Hal ini dapat mengecewakan petani yang berharap mengalami peningkatan hasil dari sistem organik. Jika demikian situasinya, perlu dinilai secara individu di setiap daerah dan di setiap lahan. Untuk menghindari kekecewaan yang berlebihan, petani yang tertarik untuk beralih ke pertanian organis harus diingatkan untuk bersiap-siap menghadapi penurunan hasil pada tahun-tahun awal dan tidak perlu khawatir karena setelah tiga hingga lima tahun hasil panen akan naik dan memuaskan. Tampaknya perbaikan hasil panen dapat menjadi lebih tinggi pada daerah yang memiliki iklim lembab dengan tanah yang mengandung banyak materi organisnya.

Berdasarkan studi literatur dan bukti empirik di lapangan, setelah masa peralihan dilalui, hasil panen pertanian organis mengalami peningkatan seperti jumlah semula bahkan dapat melebihi. Jadi, pada waktu proses peralihan dari pertanian konvensional ke organis selesai, hasil panen yang didapat sangat positif karena tidak mengalami penurunan.

Selain itu, setelah masa peralihan usai, tanah lahan telah ‘pulih’ dan keanekaragaman hayati di lahan telah mengalami keseimbangan, memberikan kontribusi bagi penurunan biaya produksi seperti biaya sebelum perubahan atau mungkin lebih rendah, mengingat saat itu lahan tidak membutuhkan asupan kimia pertanian (agro kimia) yang sangat mahal harganya karena cukup memanfaatkan sumber-sumber yang ada di lahan itu sendiri.

Hasil/keuntungan tidak hanya bergantung pada jumlah panen tetapi juga harga yang diberikan oleh pasar. Meskipun demikian, pada umumnya petani berharap mendapat harga premium untuk produk-produk organis mereka setelah lahan mereka organik. Tetapi, bilapun harga premium tidak terpenuhi, sebenarnya petani organik untung karena biaya produksi organik lebih rendah dibandingkan non organik. Permasalahannya adalah kapan jerih payah petani dihargai lebih dari sekedar angka-angka dalam biaya produksi?
Berikut ini disajikan perbandingan analisis usaha budidaya organik dan konvensional pada padi. Analisis dibuat untuk luasan lahan satu hektar, nilai atau harga yang digunakan berlaku untuk daerah Lubuk Cemara, Kab Serdang Bedagai , Sumatra Utara pada Musim tanam bulan Mei – Agustus

Tabel 1
1. Perbandingan Operasional Budidaya Organik dan Konvensional per hektar




Terlihat bahwa, biaya operasional budidaya padi dari penyediaan benih hingga penanaman padi organik Pola LMTO dan konvensional tidak terlalu berbeda. Perbedaan tampak pada penggunaan asupan-asupan eksternal bagi perawatan tanaman.
Pada budidaya organik Pola LMTO penggunaan pestisida organik tidak mutlak dibutuhkan, bila di butuhkan cukup dengan pemakaian 2 lt/H dengan harga Rp 40.000/lt
Dengan asumsi tidak terjadi puso dan lahan organik telah terbentuk, setiap hektar sawah akan mampu menghasilkan gabah 7.5 ton, sedangkan sawah konvensional menghasilkan gabah 4.5 ton/H .. Bila harga gabah organik Pola LMTO dan konvensional dihargai sama yaitu Rp. 2.500,- per kilo gram, maka petani organik akan mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 18.750.000,-. Dengan demikian, keuntungan petani organik sebesar Rp. 12.450.000,- dan petani konvensional hasil gabah sebesar Rp. 11.250.000,-, keuntungan Rp 5.485.994. Artinya, dilihat dari sudut asupan pertanian saja dengan cara membandingkan hasil pendapatan, budidaya pertanian organik dengan pola LMTO lebih menguntungkan 50% dibandingkan dengan pertanian konvensional.
Dari segi aspek bisnis Kilang Padi, budidaya pertanian organic Pola LMTO lebih menguntungkan karena rendemen gabah lebih tinggi, budidaya konvensional rendemen 50%. Pola LMTO bisa mencapai 60 – 70 %. Jadi ada selisih 10-20%.

Hal lain dari budidaya konvensional yaitu pengaruh dari para tengkulak yang telah lama berperan dalam keterpurukan petani Indonesia, karena memanfaatkan mereka sebagai lahan bisnis dengan cara yang tidak adil.
Dalam data di atas, tidak dimasukannya biaya sewa lahan karena biaya tersebut dapat dianggap sama antara lahan organik Pola LMTO dan non organik.
Ditinjau dari kelayakan usaha, secara finansial dapat dilihat dari BEP (break event point), radio B/C (benefit cost), dan ROI (return of investment) dengan asumsi menggunakan harga beras organis dan non organik saat ini.

Gabah Organik
a. BEP
Suatu usaha budidaya dikatakan berada pada titik impas atau balik modal berarti bahwa besarnya hasil sama dengan modal yang dikeluarkan. Perhitungan BEP ada dua, yaitu BEP volume produksi dan BEP harga produksi.

BEP Volume produksi = Total Biaya produksi
Harga Produksi = Rp. 6.300.000
Rp. 2.500,-
= 2.250 Kg
Harga produksi Rp. 2.500,-

Artinya, titik balik modal usaha budidaya organik Pola LMTO dapat tercapai pada tingkat volume produksi sebanyak 2.250 kilogram untuk sekali panen.

BEP harga produksi = Biaya operasional
Jumlah Produksi = Rp. 6.300.000,-
7.500kg
= Rp.840,-/Kg
Jumlah produksi 7.500,- kg

Artinya, titik balik modal tercapai bila harga gabah organik Pola LMTO yang diperoleh dijual dengan harga Rp.840,- per kilogram


Rasio B/C

Rasio B/C merupakan ukuran perbandingan antara hasil penjualan dengan biaya operasional. Dengan rasio B/C akan diperoleh ukuran kelayakan usaha. Bila nilai yang diperoleh lebih dari satu maka usaha dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan. Namun bila kurang dari satu maka usaha tersebut dikatakan tidak layak.

Rasio B/C = Hasil Penjualan
Biaya Operasional = Rp. 18.750.000,-
Rp. 6.300.000
= 2.98

Biaya Operasional Rp. Rp. 6.300.000,-

Artinya biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 18.750.000,- akan diperoleh hasil penjualan sebesar 2.98 kali lipat sehingga sangat layak untuk diusahakan.

ROI (return of investment)
Analisis ROI merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan dengan biaya operasional. Analisis ini digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan modal.

ROI = Keuntungan x 100%
Biaya Operasional = Rp. 12.450.000 x 100%
Rp. 6.300.000,-
= 1.98%

Artinya biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 100,- akan dihasilkan keuntungan sebesar Rp. 198,-, sehingga penggunaan modal untuk usaha ini sangat amat efisien.
Gabah Konvensional

a. BEP
BEP Volume produksi = Total Biaya produksi
Harga Produksi = Rp. 5.764.006
Rp. 2.500,-
= 2.306 Kg
Harga produksi Rp. 2.500,-

Artinya, titik balik modal usaha budidaya konvensional dapat tercapai pada tingkat volume produksi sebanyak 2.306 kilogram untuk sekali panen.

BEP harga produksi = Biaya operasional
Jumlah Produksi = Rp. 5.764.006,-
4.500
= Rp.1.281,-/Kg

Jumlah produksi 4.500,-kg

Artinya, titik balik modal tercapai bila harga gabah konvensional yang diperoleh dijual dengan harga Rp.1.281,- per kilogram.

Rasio B/C

Rasio B/C = Hasil Penjualan
Biaya Operasional = Rp. 11.250.000,-
Rp. 5.764.006

= 1.95

Biaya Operasional Rp. 5.764.006,-

Artinya biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 5.764.006,- akan diperoleh hasil penjualan sebesar 1.95 kali lipat agar layak untuk diusahakan.

ROI (return of investment)

ROI = Keuntungan x 100%
Biaya Operasional

= Rp. 5.485.994 x 100%
Rp. 5.764.006,-
= 0.95%

Biaya Operasional Rp 5.764.006

Artinya biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 100,- akan dihasilkan keuntungan sebesar Rp. 95,-, sehingga penggunaan modal untuk usaha ini masih efisien.

Dari hasil analisis finansial terlihat bahwa budidaya organik Pola LMTO lebih layak dibandingkan konvensional. ini dapat dilihat dari titik impas volume dan harga produksi gabah organik Pola LMTO jauh lebih kecil dibanding gabah konvensional. Pembiayaan budidaya organik Pola LMTO juga lebih rendah dari budidaya konvensional walaupun produksi gabah tetap sama.

Berdasarkan rasio B/C, budidaya organik Pola LMTO masih lebih besar dibandingkan konvensional, yaitu 2.98 (Hampir tiga kali) dan 1.95 (hampir dua kali). Sementara untuk perhitungan ROI menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh budidaya organik Pola LMTO sebesar hamper 2 kali lipat keuntungan budidaya padi konvensional. Dengan demikian, modal usaha akan lebih cepat kembali pada pembudidayaan padi organik Pola LMTO.

Aspek Sosial Dan Lingkungan, Efisiensi Dalam Pertanian Organik Pola LMTO
Pertanian organis merupakan strategi pertanian yang ramah lingkungan yang menyandarkan pada keragaman hayati di lahan pertanian. Memelihara alam di lahan dan sekitar lahan menciptakan tempat yang nyaman bagi mahluk hidup.
Karena budidayanya meniru dengan praktek-praktek yang terjadi di alam, pertanian organik berujung pada budidaya yang efisien. Lambat laun, karena keseimbangan ekosistem terjadi sebagai buah terjaganya keragaman hayati mengakibatkan biaya produksi kian menurun. Pertanian organik dimaksudkan menjadi semacam pertanian yang menggunakan asupan luar serendah mungkin.

Dengan memperbesar daur ulang bahan-bahan alami di lahan, menjadi cara yang efektif mengurangi biaya asupan. Misalnya sampah dapur bersama bahan-bahan organik dari lahan dapat dijadikan kompos. Bahan-bahan dari pangkasan pohon dan pagar tanaman dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sementara dedaunan dan ranting-ranting dapat dipakai sebagai mulsa atau kompos. Yang terpenting, efisien dari daur ulang nutrisi berupa pengelolaan pupuk hijau. Petani sedapat mungkin mendaur ulang nutrisi yang berasal dari lahan sendiri dan tidak perlu membeli dari luar dengan mencari sumber-sumber pupuk yang tersedia di daerah sekitar ladang, misalnya sampah dari pengolahan hasil pertanian, menanam pangan sendiri misalnya sayur-mayur, makanan pokok, buah-buahan dan tepung-tepungan.

Cara lain untuk mengurangi biaya produksi dengan menerapkan metode tumpang sari/rotasi tanaman sehingga dapat memelihara keragaman species yang dapat mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT), menggunakan agen hayati lokal untuk membuat pestisida botani sendiri, memproduksi benih dan semaian sendiri, memelihara ternak (untuk mendapatkan manur, susu, telur, daging, dll), membuat pakan ternak di kebun sendiri, saling pinjam-meminjam peralatan dan mesin-mesin dengan tetangga sesama petani dan membeli peralatan yang dibuat secara lokal daripada membeli yang impor, menggunakan bahan-bahan konstruksi yang tersedia di daerah setempat (misalnya bengkel kompos, kandang ternak, alat-alat dll), bergabung dengan petani lain membentuk usaha simpan pinjam agar terhindar dari jeratan tengkulak dengan bunga yang mencekik leher.

Selain untuk mengendalikan OPT, metode tumpang sari dari sisi ekonomi dapat menjadi cara untuk menjaga kesinambungan produksi/pemasaran dan menghasilkan keragaman produk pertanian. Artinya, dengan menanam beragam tanaman dalam suatu luasan lahan tertentu, dimana tanaman memiliki usia tanam tertentu dan dalam jumlah tak banyak, akan menghasilkan produk pertanian yang beragam dan diperoleh sepanjang tahun –berdasarkan usia tanam- serta dapat mengontrol harga produk agar tidak jatuh karena petani tetap menjaga ketersediaan produk terus menerus tetapi tidak dalam jumlah yang besar.

Keseimbangan alam dan ekosistemnya secara keseluruhan merupakan aset berharga, yang apabila dikuantifikasikan -(tidak bermaksud mereduksi makna dan peran alam)- berkontribusi untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk produksi pertanian organik.

Untuk tenaga kerja, fakta yang terjadi di lapangan, pertanian organik menggunakan tenaga kerja lebih intensif dibanding pertanian konvensional terutama pada masa peralihan. Hal ini dikarenakan pengoptimalan penggunaan bahan-bahan alami di sekitar yang dikelola berdasarkan interaksi biologi dan ekologi, dimana prosesnya dilakukan sendiri dalam komunitas pertanian tersebut. Artinya bahan baku untuk asupan pertanian diperoleh dalam komunitas dengan cara membeli atau barter antar anggota komunitas. Ini dapat menekan biaya produksi yang dikeluarkan, tetapi memerlukan tenaga kerja yang intensif. Kalaupun biaya dikeluarkan untuk memperoleh asupan-asupan pertanian dan menggunakan tenaga kerja setempat, perputaran uang hanya terjadi pada komunitas tersebut dan secara tidak langsung menguatkan tatanan ekonomi dan sosial masyarakat komunitas.

Meskipun di negara-negara tropis tenaga kerja lebih murah dibandingkan harga asupan kimia, para petani dalam jangka waktu panjang tetap mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja, baik yang dilakukan sendiri ataupun pekerja upahan. Biaya tenaga kerja dapat dikurangi, dengan menerapkan metode pencegahan dalam budidayanya. Seperti metode tumpang sari dan rotasi tanaman dapat membantu dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pengurangan pengolahan tanah dengan menggunakan penggunaan jerami dari hasil panen, pemberian manur untuk menumbuhkan dan memperkaya kandungan materi organik tanah. Dengan memelihara alam, akhirnya alamlah yang akan memelihara budidaya kita dan memelihara kita.

Praktek pertanian organik yang dilakukan komunitas memberikan kontribusi bagi pengembangan pembangunan pedesaan. Pertanian organik dan pertanian terpadu mewakilkan kesempatan pada semua tingkatan, mendorong ekonomi pedesaan melalui pembangunan berkelanjutan. Malah kesempatan kerja baru di pertanian menjadi bukti dari pertumbuhan sektor organik.